Penentuan Awal Waktu Shalat di Daerah Kutub
Pendahuluan
Menarik
untuk membicarakan waktu-waktu salat di daerah dekat kutub;
daerah-daerah yang memiliki lintang tinggi. Karena daerah-daerah
tersebut memiliki perbedaan dengan daerah yang berada di sekitar
Khatulistiwa yang peredaran harian mataharinya relatif teratur sedang
daerah-daerah tersebut tidak demikian. Di daerah dekat kutub ini, posisi
matahari tidak seperti pada daerah dekat Khatulistiwa. Dekat
Khatulistiwa, peredaran matahari setiap harinya relatif sama dan tidak
banyak berbeda. Dalam penentuan awal waktu salat yang terkait dengan
posisi matahari sebagaimana yang ditentukan oleh para ahli ilmu Falak,
dapat tercapai setiap harinya dengan mudah.
Kondisi
ini berbeda dengan daerah-daerah dekat kutub. Sebagai contoh penentuan
awal waktu salat di daerah Trondheim (10° 23’ BT dan 63° 36’ LU),
Norwegia. Pada bulan April sampai September di daerah Trondheim, syafak
pada saat Magrib bersambungan dengan Fajar; yang disebut dengan continous twilight.
Matahari tetap di horizon tidak turun ke bawah ufuk sehingga posisi
matahari tidak mencapai posisi -20° (kriteria awal waktu Isya dan
Subuh). Ini menyebabkan awal waktu Isya dan Subuh tidak
teridentifikasikan secara ilmu Falak.
Kondisi
demikian terkadang memunculkan pemikiran seolah-olah daerah selain
daerah Khatulistiwa adalah daerah kurang layak atau kurang baik untuk
tidak menyatakan tidak layak dan tidak baik untuk didiami oleh kaum
muslimin. Sehingga ada pemikiran sebaiknya semua muslim bermukim di
Khatulistiwa dan daerah utara dan selatan untuk orang yang non muslim.
Sebenarnya coverage area di mana orang bisa salat dengan normal
lebih luas dari sekedar sepanjang garis Khatulistiwa. Yang penting
selagi masih ada terbit dan tenggelamnya matahari, maka sistematika
waktu-waktu salat sebagaimana yang telah diatur dalam Syariat Islam
masih bisa berjalan dan diperhitungkan. Walaupun panjang malam hanya
beberapa jam saja. Atau sebaliknya, panjang siang hanya beberapa jam.
Tinjauan
astronomis akan membantu mencarikan solusi dalam menarik analogi hukum
penentuan awal waktu salat. Perihal ijtihad tentang penentuan awal
waktu salat di daerah yang dapat dikatakan tidak normal (jika
dibandingkan dengan daerah dekat Khatulistiwa) ini sering diulas oleh
ahli fikih. Tetapi dengan kemudahan perhitungan astronomi dalam
penentuan waktu, hal yang semula menimbulkan kesulitan, kebingungan pada
akhirnya dapat dicarikan solusinya. Ilmu astronomi mestinya tidak hanya
membantu menentukan waktu ibadah, tetapi juga mencarikan solusi hukum
yang terbaik dalam kasus yang belum terjadi pada zaman Nabi.
Jadwal Salat Di Daerah Sekitar Kutub
Indonesia
terletak di daerah Khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu
bervariasi sepanjang tahun. Di Bandung misalnya, yang termasuk bagian
selatan daerah tropik, perbedaan panjang hari puasa antara bulan Juni
dan Desember hanya sekitar 50 menit. Untuk wilayah di lintang tinggi
(dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim
panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek.
Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada
penentuan awal waktu salat yang terkait dengan posisi matahari.[2]
Pada saat matahari berada di titik Utara, sekitar bulan Juli, wilayah
sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang singkat dan waktu
malam yang panjang. Namun ketika matahari berada di titik Selatan,
wilayah di sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang panjang
dan waktu malam yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah
sekitar kutub Selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di kutub
Utara.
Dengan kata lain terdapat kondisi yang menyebabkan tidak dapat/sulit
ditentukannya waktu-waktu salat tertentu. Gambaran kondisi tersebut
sebagai berikut:
1. Jadwal Salat di Lintang 60o pada musim panas senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh). Terjadi continous twilight,
yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar
tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan awal waktu
Isya dan Subuh. Kondisi tidak normal: tidak ada gelap malam.
2. Jadwal Salat di Lintang 70° pada musim panas, senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh) seperti kondisi di Lintang 60o dan matahari tak pernah terbenam (tidak ada batasan waktu maghrib). Pada musim dingin matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu Zuhur, Asar, dan Magrib). [3]
Pendapat Para Ulama Tentang Penentuan Awal Waktu Salat
di Daerah Dekat Kutub
Terdapat
perbedaan pendapat ulama menyikapi penentuan waktu salat di wilayah di
sekitar atau berdekatan kutub. Berbagai pendapat tersebut dapat
dirangkum sebagai berikut:
1. Sa’adoeddin Djambek mengqiyaskannya
dengan kondisi seseorang tertidur atau pingsan. Seseorang tertidur
atau pingsan di waktu Magrib setelah menunaikan salat Magrib dan
terbangun atau siuman pada waktu Subuh. Sehingga waktu Isya tidak
disadarinya.[4] Dalam Fikih mazhab Syafi’i ketika ia terbangun atau siuman maka hendaklah melaksanakan salat Subuh lalu mengqadha salat Isya.
2. TM
Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan untuk menggunakan pedoman waktu salat
daerah lain yang masih dapat ditentukan waktu-waktu salatnya atau
keadaan waktu di Madinah.[5]
3. Syeikh
As-Sobhi pada acara televisi dalam rubrik Fataawa al-Ulama (fatwa-fatwa
ulama) itu berpendapat pula bahwa waktu untuk menjalankan ibadah salat
lima waktu bagi warga Muslim yang berada di kawasan kutub utara atau
kutub selatan yang lebih afdhal (lebih tepat) adalah mengikuti waktu di
Makkah, sebagai titik pusat spiritual umat Islam sedunia .[6]
4. Muhyiddin Khazin, Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnahnya,
dan MUI menyatakan bahwa jika kita berpedoman pada posisi matahari
dalam penentuan awal waktu salat di daerah kutub (maupun di daerah
sekitarnya) maka akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu penentuan
awal waktu salatnya disamakan dengan daerah normal yang terdekat.[7]
5. T
Djamaluddin menyatakan bahwa bagi mereka yang berada di sekitar wilayah
kutub tetap merujuk kepada waktu setempat; yang dijadikan acuan adalah
pada waktu normal terakhir ketika waktu-waktu salat itu masih normal dan
bisa diedentifikasi atau ditentukan secara astronomi.[8]
Ketika TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam "Pedoman Puasa" berpendapat untuk
melakukan perkiraan waktu atau hisab ini dilandaskan pada qiyas
dengan hadis tentang Dajal yang diriwayatkan Muslim dari Yunus ibn
Syam'an. Dalam hadis itu disebutkan bahwa pada saat itu satu hari sama
dengan setahun. Kemudian ada sahabat yang bertanya,"Cukupkah bagi kami
salat sehari?" Nabi menjawab,"Tidak, perkirakan waktu-waktu itu". Bila
menggunakan qiyas itu, Hasbi Ash-Shiddieqy mendasarkan perkiraan
waktunya pada daerah normal di sekitarnya. Sedang T Djamaluddin
berpendapat lebih baik dan lebih pasti menggunakan waktu normal
setempat, sebelum dan sesudah waktu ekstrim itu. Dengan perhitungan
astronomi hal itu mudah dilakukan. [9]
Dari pendapat atau hasil ijtihad para ulama tentang penentuan waktu salat di daerah kutub di atas, terdapat beberapa catatan:
1.
Masing-masing pendapat memiliki landasan, penulis dalam hal ini
cenderung pada pendapat yang terakhir, yang diungkapkan oleh T
Djamaluddin. Argumentasinya adalah jika seseorang yang tinggal di
wilayah sekitar kutub tersebut mengacu pada waktu normal terakhir ketika
waktu-waktu salat itu masih normal; bisa diidentifikasi atau ditentukan
secara astronomi. Hal ini akan memudahkan bagi mereka dalam menyikapi
fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka.
2.
Jika mereka harus mengacu pada ketentuan waktu daerah lain dalam hal
ini terdapat pendapat yang mengatakan untuk mengikuti daerah yang
terdekat yang normal; masih dapat diidentifikasi/ditentukan waktu-waktu
salatnya. Atau pendapat lain yang menyatakan untuk mengikuti acuan
waktu salat kota Mekah (ada juga yang mengatakan untuk mengikuti daerah
Hijaz atau juga Madinah) yang mungkin sangat jauh berbeda dengan kondisi
ril mereka tentu akan menyulitkan.
3.
Kondisi ini di mana penentuan waktu-waktu salat tertentu dapat saja
tidak terdefinisikan; teridentifikasi, dapat terjadi dalam jangka waktu
yang cukup lama. Jika kondisi ini diqiyaskan dengan keadaan
tertidur ataupun pingsan, dalam jangka waktu yang lama seperti seseorang
yang mengalami koma, pada hal mereka sendiri bangun dan sadar, mungkin
kurang tepat.
4.
Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya. Sekitar
bulan Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya
penentuan awal waktu salat di daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret
dan September, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia. [10]
Berikut ini akan dilihat lebih lanjut contoh Tathbiq
Waktu Salat di lintang besar; daerah dekat Kutub utara. Daerah yang
dijadikan contoh adalah daerah Trondheim (10° 23’BT,63° 36’LU); salah
satu daerah di negara Norwegia.
1. Di daerah ini pada tanggal 06 April sampai dengan bulan 05 September 2010 waktu Subuh dan Isyanya tidak teridentifikasikan.
2. Berikut jadwal salat bulan April 2010 sebelum dan setelah koreksi dengan menggunakan waktu normal setempat.
3. Jadwal ini dihitung menggunakan program Mawaqiit 2001 karya Khafid.
Waktu Salat di Trondheim (10° 23’BT,63° 36’LU):
April 2010
April 2010
---------------------------------------------------
Tgl Subh Syuruq Zuhr Ashr Magrib Isya
---------------------------------------------------
01 01:48 05:37 12:24 16:41 19:09 23:00
02 01:38 05:33 12:23 16:43 19:12 23:09
03 01:27 05:30 12:23 16:46 19:14 23:19
04 01:14 05:27 12:23 16:48 19:17 23:32
05 00:56 05:23 12:23 16:50 19:20 23:49
06 --:-- 05:20 12:22 16:52 19:23 --:--
07 --:-- 05:16 12:22 16:54 19:26 --:--
08 --:-- 05:13 12:22 16:56 19:29 --:--
09 --:-- 05:09 12:22 16:58 19:32 --:--
10 --:-- 05:06 12:21 17:00 19:35 --:--
11 --:-- 05:02 12:21 17:02 19:38 --:--
12 --:-- 04:59 12:21 17:04 19:41 --:--
13 --:-- 04:55 12:21 17:06 19:44 --:--
14 --:-- 04:52 12:20 17:08 19:47 --:--
15 --:-- 04:48 12:20 17:10 19:50 --:--
16 --:-- 04:45 12:20 17:12 19:53 --:--
17 --:-- 04:41 12:20 17:14 19:56 --:--
18 --:-- 04:38 12:19 17:16 19:59 --:--
19 --:-- 04:35 12:19 17:18 20:02 --:--
20 --:-- 04:31 12:19 17:19 20:05 --:--
21 --:-- 04:28 12:19 17:21 20:08 --:--
22 --:-- 04:24 12:19 17:23 20:11 --:--
23 --:-- 04:21 12:18 17:25 20:14 --:--
24 --:-- 04:18 12:18 17:27 20:17 --:--
25 --:-- 04:14 12:18 17:29 20:20 --:--
26 --:-- 04:11 12:18 17:31 20:23 --:--
27 --:-- 04:08 12:18 17:32 20:26 --:--
28 --:-- 04:04 12:18 17:34 20:29 --:--
29 --:-- 04:01 12:18 17:36 20:32 --:--
30 --:-- 03:57 12:17 17:38 20:35 --:--
---------------------------------------------------
Jadwal
awal waktu salat untuk kota Trondheim, Norwegia (10° 23’ BT dan 63° 36’
LU) setelah dilakukan koreksi. Koreksi yang dilakukan berupa awal waktu
salat Isya dan Subuh yang tidak dapat didefinisikan secara ilmu Falak
mengikuti waktu normal sebelumnya. Awal waktu salat Isya dan Subuh sejak
tanggal 06 sampai dengan akhir bulan April 2010 tidak
teridentifikasikan. Maka awal waktu salat Isya dan Subuh tanggal 06
sampai dengan 30 April 2010 tersebut mengikuti jadwal pada tanggal 05
April yang masih normal; dapat diidentifikasi lalu dilakukan
interpolasi. Demikanlah perhitungan awal waktu salat Subuh dan Isya
sampai dengan tanggal 05 September 2010.
Waktu Salat di Trondheim (10° 23’BT dan 63° 36’LU) : April 2010
---------------------------------------------------
Tgl Subh Syuruq Zuhr Ashr Magrib Isya
---------------------------------------------------
01 01:48 05:37 12:24 16:41 19:09 23:00
02 01:38 05:33 12:23 16:43 19:12 23:09
03 01:27 05:30 12:23 16:46 19:14 23:19
04 01:14 05:27 12:23 16:48 19:17 23:32
05 00:56 05:23 12:23 16:50 19:20 23:49
06 00:56 05:20 12:22 16:52 19:23 23:49
07 00:56 05:16 12:22 16:54 19:26 23:49
08 00:57 05:13 12:22 16:56 19:29 23:50
09 00:57 05:09 12:22 16:58 19:32 23:50
10 00:57 05:06 12:21 17:00 19:35 23:50
11 00:57 05:02 12:21 17:02 19:38 23:50
12 00:57 04:59 12:21 17:04 19:41 23:50
13 00:58 04:55 12:21 17:06 19:44 23:51
14 00:58 04:52 12:20 17:08 19:47 23:51
15 00:58 04:48 12:20 17:10 19:50 23:51
16 00:58 04:45 12:20 17:12 19:53 23:51
17 00:58 04:41 12:20 17:14 19:56 23:51
18 00:59 04:38 12:19 17:16 19:59 23:52
19 00:59 04:35 12:19 17:18 20:02 23:52
20 00:59 04:31 12:19 17:19 20:05 23:52
21 00:59 04:28 12:19 17:21 20:08 23:52
22 00:59 04:24 12:19 17:23 20:11 23:52
23 00:59 04:21 12:18 17:25 20:14 23:52
24 01:00 04:18 12:18 17:27 20:17 23:53
25 01:00 04:14 12:18 17:29 20:20 23:53
26 01:00 04:11 12:18 17:31 20:23 23:53
27 01:00 04:08 12:18 17:32 20:26 23:53
28 01:00 04:04 12:18 17:34 20:29 23:53
29 01:01 04:01 12:18 17:36 20:32 23:54
30 01:01 03:57 12:17 17:38 20:35 23:54
---------------------------------------------------
Waktu Salat Bagi Astronot
Menarik
kiranya kita juga membahas tentang penentuan waktu salat bagi para
astronot. Karena dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak tertutup peluang bagi seorang muslim menjadi astronot. Seperti
beberapa waktu yang lalu seorang astronot muslim asal Malaysia yang
terbang ke luar angkasa.
Penentuan
waktu salat bagi astronot yang berada di luar angkasa, tidak dapat
mengacu pada peredaran stasiun ruang angkasa tempat ia berada. Sebagai
contoh kasus Sheikh Muszaphar Shukor,
seorang Astronot muslim berwarga negara Malaysia yang ikut bergabung
dalam Tim Soyuz dalam misi 10 hari ke Luar Angkasa di Stasiun Antariksa
Internasional (ISS) pada tahun 2006 lalu. Penentuan waktu salat selama
berada di sana tidak sama dengan di Bumi. Karena Stasiun antariksa
mengelilingi Bumi sebanyak 16 kali dalam 24 jam. Dan itu berarti Ia
akan menemui 16 kali matahari terbit dan terbenam dalam 24 jam tersebut.[11]
Demikian juga dengan fenomena peredaran matahari yang menjadi patokan
dalam penentuan awal waktu salat. Ia akan menemui enam belas kali awal
waktu salat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Jika dinyatakan
fenomena peredaran matahari itu sebagai sebab dalam kewajiban salat lima
waktu, berarti ia wajib melaksanakan delapan puluh kali salat sehari
semalam. Tentu saja ini akan menimbulkan suatu kesulitan bagi muslim
tersebut.
Panduan pelaksanaan ibadah di luar angkasa bagi Sheikh Muszaphar Shukor
yang dibuat Kantor Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) menyatakan bahwa
dalam menentukan waktu salat berdasarkan tempat lepas landas, yaitu
Baikonur, Kazakhstan.[12]
Pakar
Syariah Islam dari Mesir, Syeikh Mohammad Ahmad as-Sobhi berpendapat
astronot Muslim, yang menjalankan misinya di luar angkasa, dapat
beribadah puasa dan salat lima waktu dengan berpatokan pada waktu Mekah,
Arab Saudi.[13]
Dalam
menyikapi kedua pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengambil
pendapat yang pertama. Pendapat yang menyatakan bahwa dalam menentukan
waktu salat berdasarkan tempat lepas landas. Ini akan memudahkan karena
menyesuaikan jadwal salatnya dengan jadwal aktivitasnya ketika terakhir
di Bumi sebelum terbang ke luar angkasa.
Penutup
Dalam
penentuan awal waktu salat di daerah-daerah yang berada di dekat kutub
pada saat awal waktu salatnya tidak dapat diedentifikasi pendapat T
Djamaluddinlah lebih memudahkan. Dalam mengikuti pendapat T Djamaluddin,
masyarakat tinggal mengikuti saat awal waktu salat yang masih
teridentifikasi sebelumnya dan kemudian menginterpolasi. Sehingga tidak
perlu misalnya untuk mengikuti daerah yang berdekatan yang awal waktu
salatnya teridentifikasi. Karena dikhawatirkan terdapatnya loncatan/
pergeseran awal waktu salat ketika digunakan di daerah yang awal waktu
salatnya tidak teridentifikasi tadi ataupun ketika berpedoman pada waktu
Mekah.
Daftar Pustaka
Ahmad SS, Syawariq al-Anwar, Kudus: TBS, T.th
Astronaut Muslim Pertama Berlebaran di Luar Angkasa, http://irwan.dagdigdug.com/astonaut-muslim-pertama-berlebaran-di-luar-angkasa/ diakses 30 Oktober 2009.
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001
____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007
____________, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1990
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992
___________,Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
Djamaluddin, T, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses 15 November 2009
____________, Shalat dan Shaum di Daerah Sekitar Kutub dan Antariksa, makalah perkuliahan Hisab Kontemporer, Semarang, IAIN Walisongo, 11 Juni 2010
___________, Analisis Hisab Astronomi Ramadan dan Hari Raya di Berbagai Negeri , http:// media.isnet. org diakses tanggal 30 Oktober 2009
Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang
____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, T.Th.
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006
Hambali, Slamet, Proses Menentukan Awal-Awal Waktu Shalat, makalah dipresentasikan pada tanggal 5 Oktober 2009, di PPS IAIN Walisongo Semarang
Hidayat, Bambang, Perjalanan Mengenai Astronomi, Cet. I, Bandung: ITB, 1995.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 145,
Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17
Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1980 M. http://mui.or.id/
yang diakses pada tanggal 06 November 2010
Ijtihad Astronot Muslim Puasanya Berpatokan pada Mekkah, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
Jaziri, al-, Abdurrahman, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr, T.Th.
Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006
Khafid, Mawaaqit 2001
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008
____________, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadan Press
Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1, 1983
Sabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1403H./1983 M.
Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
Shiddieqy, ash-, TM Hasbi, Pedoman Puasa, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.
Waktu Salat, http://www.alhusiniyah.com diakses 15 November 2009
Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikr
[1]Jayusman,
Lektor fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.
http://jayusmanfalak.bolgspot.com dan e mail jay_falak@yahoo.co.id
[2] T Djamaluddin, Analisis Hisab Astronomi Ramadan dan Hari Raya di Berbagai Negeri , http:// media.isnet. org diakses tanggal 30 Oktober 2009
[3] T Djamaluddin, Shalat di Daerah Sekitar Kutub dan Antariksa, makalah perkuliahan Hisab Kontemporer, Semarang, IAIN Walisongo, 11 Juni 2010 dan Shaum
[4] Sa’adoeddin Djambek, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang, 1974: 17.
[5] TM Hasbi Ash-Shiddiqie, Pedoman Shalat, Jakarta: Buan Bintang, 1978, cet. ke-x, h. 143
[6] Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
[7] Muhyiddin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009, h.47 dan Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 145,
Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17
Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1980 M. Ketua MUI ketika
itu adalah Hamka, lihat http://mui.or.id/ yang diakses pada tanggal 06
November 2010
[8] T Djamaluddin, Shalat, loc.cit dan lihat juga T Djamaluddin, Analisis, loc.cit
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Astronaut Muslim Pertama Berlebaran di Luar Angkasa, http://irwan.dagdigdug.com/astonaut-muslim-pertama-berlebaran-di-luar-angkasa / . diakses 30 Oktober 2009
[12] Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
Sumber:
http://jayusmanfalak.blogspot.com/2011/04/telaah-ulang-penentuan-waktu-salat-di.html
Komentar
Posting Komentar